A. Pembelajaran Matematika
Pengertian belajar menurut M. Sobry Sutikno (Faturahman dan Sutikno,
2007) adalah ”suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”.[1] Sedangkan belajar
menurut Chaplin (Syah, 2004) adalah “perolehan perubahan tingkah laku yang
relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman”.[2]
Perubahan tingkah laku tersebut menurut Oemar Hamalik (2005) meliputi beberapa
aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, kebiasaan, keterampilan, apresiasi,
emosional, hubungan sosial, jasmani, budi pekerti (etika), sikap dll.[3] Secara
umum belajar boleh dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri
individu dengan lingkungannya. Yang
dimaksud interaksi disini adalah: [4]
a. Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam
diri yang belajar.
b. Dilakukan secara aktif dengan segenap
panca indra ikut berperan.
Selanjutnya pembelajaran
menurut Gagne, Briggs dan Wager adalah ”Serangkaian kegiatan yang dirancang
untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”.[5] Suatu pengertian yang
hampir sama dikemukakan oleh Corey bahwa pembelajaran adalah ”suatu proses
dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut
serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi
tertentu”.[6]
Suherman (2001) mengemukakan
bahwa “proses pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi
nuansa agar proses belajar tumbuh dan berkembang secara optimal”.[7]
Dalam pembelajaran terdapat
hubungan antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Pola hubungan
tersebut termasuk pola hubungan komunikasi pembelajaran multiarah. Seperti yang
digambarkan oleh Muhibbin Syah (2004) sebagai berikut:[8]
Gambar 1
Komunikasi Multiarah Dalam Proses
Belajar-Mengajar
Pada komunikasi pembelajaran multiarah
siswa lebih berperan aktif dalam pembelajaran seperti membaca, menulis,
menyusun rangkuman, membuat kesimpulan, menjelaskan suatu wacana, berdiskusi,
mengemukakan pendapat, bertanya, menanggapi pendapat lain, dan lain-lain.
Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang memberikan ruang dan
kesempatan bagi siswa agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Seperti yang diungkapkan Suherman (2001) bahwa:
Pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional
antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap
dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan. Guru
berperan sebagai komunikator, siswa sebagai komunikan, dan materi yang
dikomunikasikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak
arah dalam pembelajaran, peran-peran tersebut bisa berubah, yaitu antara guru
dengan siswa dan sebaliknya, serta antara siswa dengan siswa.[9]
Dengan menyadari pola hubungan
tersebut memungkinkan keterlibatan mental siswa yang optimal dalam
merealisasikan pengalaman. Selanjutnya, agar hubungan antar siswa dapat memberi
pengaruh yang positif dan konstruktif, mereka harus mampu mengusahakan terjadinya
suasana saling menghargai, memiliki, menerima, membantu, dan saling memperhatikan
antara satu dengan yang lain. Dijelaskan dalam Wuryani (2006) “tugas guru
adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk mengajar dan belajar.
Suasana diciptakan oleh guru dan siswa tetapi guru mempunyai tanggung jawab dan
mengorganisasi pekerjaan siswa, mengatur waktu seefisien mungkin dan mengatur
jalannya interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa”.[10] Dengan kata lain, guru harus mampu
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi antarsiswa yang meliputi
bagaimana tujuan disusun dan perbedaan-perbedaan pendapat diatur.
Dari pengertian-pengertian
pembelajaran tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran berpusat pada kegiatan
siswa belajar dan bukan berpusat pada kegiatan guru mengajar. Sedangkan matematika
menurut Lerner (1988) adalah bahwa matematika disamping sebagai bahasa simbolis
juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat
dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.[11] Oleh karena itu pada
hakikatnya pembelajaran matematika adalah ”proses yang sengaja dirancang dengan
tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan seseorang
(sipelajar) melaksanakan kegiatan belajar matematika, dan proses tersebut
berpusat pada guru mengajar matematika”.[12]
Kegiatan pembelajaran
matematika sesungguhnya merupakan interaksi antara guru-siswa, siswa-guru dan siswa-siswa
untuk mengklarifikasi pemikiran dan tindakan secara logis, kreatif, dan
sistematis selain itu juga bahwa pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk
berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika.
B. Kemampuan Komunikasi Matematik
1.
Pengertian Komunikasi Matematik
Istilah “komunikasi” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris communication
yang dikembangkan di Amerika Serikat. Komunikasi menurut bahasa (etimologi)
berasal dari bahasa latin, salah satunya yaitu communicare yang berarti
berpartisipasi ataupun memberitahukan. Pengertian komunikasi secara etimologi
ini memberi pengertian bahwa komunikasi dilakukan hendaknya dengan
lambang-lambang atau bahasa yang mempunyai kesamaan arti antara orang yang
memberi pesan dengan orang yang menerima pesan. Sedangkan menurut istilah (terminologi)
seperti yang diungkapkan oleh Berelson dan Steiner (1964) “komunikasi adalah
proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain”.[13]
Komunikasi adalah suatu proses, bukan hal yang statis.
Implikasi dari hal ini adalah bahwa komunikasi memerlukan tempat, dinamis,
menghasilkan perubahan dalam usaha mencapai hasil, melibatkan interaksi
bersama, serta melibatkan suatu kelompok. Proses komunikasi dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2
Proses Komunikasi
Pengirim pesan melakukan encode,
yaitu memformulasikan pesan yang akan disampaikannya dalam bentuk kode yang
dapat ditafsirkan oleh penerima pesan, kemudian penerima pesan menafsirkan men-decode
code yang disampaikan oleh pengirim pesan. Berhasil tidaknya komunikasi
tergantung dari ketiga komponen tersebut.[14]
Untuk
mengembangkan kemampuan komunikasinya, orang-orang dapat menyampaikan informasi
dengan bahasa matematika karena matematika merupakan bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.[15] Di dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) disebutkan pentingnya kemampuan komunikasi matematik. Hal ini tampak
antara lain pada:
- Fungsi dan tujuan, yang menyebutkan bahwa :
1). Masalah ataupun informasi
juga sering disampaikan orang dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan
persoalan atau masalah dalam model matematika;
2). Mengkomunikasikan gagasan
dengan bahasa matematika justru lebih praktis sistematis dan efisien.
3). Matematika dapat digunakan
sebagai alat informasi atau ide misalnya melalui pembicaraan lisan, catatan
(tulisan), grafik, diagram dalam menjelaskan gagasan.
- Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) disebutkan bahwa salah satu kompetensinya adalah menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
- Pada kompetensi umum bahan kajian matematika disebutkan bahwa antara lain dengan belajar matematika siswa memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik untuk memperjelas keadaan atau masalah.[16]
Hal ini mengindikasikan
komunikasi matematik menjadi sangat penting untuk ditumbuh kembangkan dalam
kegiatan pembelajaran matematika di sekolah.
Seperti yang tercantum dalam Depdiknas
Jakarta (2003) yang menyatakan bahwa indikator dari kemahiran matematika untuk kelas
VII adalah:[17]
1) Menyajikan pernyataan matematika secara
lisan, tertulis dengan simbol dan diagram.
2) Menjelaskan langkah atau memberikan alasan
hasil penyelesaian soal.
3) Menerapkan konsep secara algoritma.
4) Melakukan kegiatan simulasi dan peragaan
untuk media pemecahan masalah.
5) Menentukan persyaratan yang diperlukan
dalam pemecahan masalah.
6) Memeriksa kesesuaian hasil penyelesaian
yang diharapkan.
7) Memilih pendekatan atau strategi yang
cocok untuk menyelesaikan masalah.
8) Menafsirkan jawaban yang diperoleh.
9) menunjukkan rasa ingin tahu (antusias) dan
perhatian atau minat dalam belajar matematika.
Komunikasi
matematik juga berperan penting membantu siswa dalam memahami matematika maupun
untuk mengungkap keberhasilan belajar siswa. Seperti dikemukakan oleh Lindquist
(1996) bahwa “jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan
bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah difahami
bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-asses
matematika”.[18] Pada saat pembelajaran matematika, komunikasi
berperan efektif dalam mengembangkan pengetahuan siswa. Dengan komunikasi yang
baik siswa dapat merepresentasikan pengetahuannya sehingga bila terjadi salah
konsep dapat segera diantisipasi dan transfer ilmu pengetahuan terhadap siswa
lainnya dapat dilaksanakan.
Baroody
(Gusni, 2006) menyebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, mengapa komunikasi
dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, yaitu
matematika tidak hanya sekedar alat bantu berfikir, alat untuk menemukan pola,
menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan tetapi matematika juga sebagai
aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika sebagai wahana
interaksi antar siswa dan juga komunikasi antara guru dan siswa.[19]
Menurut
NCTM (2000), komunikasi seharusnya difokuskan pada tugas-tugas matematika yang
bermakna. Guru seharusnya mengenalkan tugas-tugas seperti:[20]
a. Tugas yang berhubungan dengan pentingnya
ide-ide matematik.
b. Tugas yang dapat diselesaikan dengan
banyak metode.
c. Tugas yang memenuhi banyak contoh.
d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengartikan, menyelidiki, dan melakukan konjektur.
Terdapat beberapa kemahiran
dalam bahasa matematik, diantaranya:[21]
1) Kemahiran membaca.
2) Kemahiran menyusun simbol.
3) Kemahiran membaca jadwal, graf dan rajah.
4) Kemahiran mendapatkan ide utama.
5) Kemahiran menggunakan perkataan matematik.
6) Kemahiran melihat dan memahami simbol.
7) Kemahiran membuat kaitan antara objek,
idea, perkataan dan simbol.
8) Kemahiran mencari makna.
Sumarmo
(Muin, 2006) mengatakan bahwa kemampuan komunikasi matematik merupakan
kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk
berkomunikasi dalam bentuk: [22]
1) Merefleksikan benda-benda nyata, gambar,
dan diagram ke dalam ide-ide matematika;
2) Membuat model situasi atau persoalan
menggunakan metode lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar;
3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa
atau simbol matematika;
4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematiaka;
5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi
matematika tertulis;
6) Membuat konjektur, menyusun argument,
merumuskan definisi dan generalisasi;
7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang
matematika yang telah dipelajari.
Selanjutnya
menurut NCTM (1989) kurikulum standar matematika untuk kelas 5-8 hendaknya
meliputi kesempatan untuk berkomunikasi sehingga siswa dapat: [23]
1) Memodelkan situasi-situasi dengan lisan, tulisan,
kongkrit, gambar, grafik dan metode-metode aljabar;
2) Memikirkan dan menjelaskan pemikiran mereka
sendiri tentang ide-ide dan situasi-situasi matematik;
3) Mengembangkan pemahaman umum terhadap ide-ide
matematika termasuk peran definisi-definisi;
4) Menggunakan keterampilan membaca, mendengar,
menulis, dan melihat untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide
matematika,
5) Mendiskusikan ide-ide matematik dan membuat
dugaan-dugaan dan alasan-alasan yang meyakinkan;
6) Menghargai nilai notasi matematik dan perannya
dalam perkembangan ide-ide matematik.
Berdasarkan
uraian di atas, maka komunikasi dalam matematika atau komunikasi matematik
merupakan suatu aktivitas baik fisik maupun mental dalam mendengarkan, membaca,
menulis, berbicara, merefleksikan dan mendemonstrasikan serta menggunakan
bahasa dan simbol untuk mengkomunikasikan gagasan matematika.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan
Komunikasi
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan
kemampuan komunikasi matematik, antara lain:[24]
a.
Pengetahuan prasyarat (Prior Knowledge)
Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sebagai akibat proses belajar sebelumnya. Hasil belajar siswa
tentu saja bervariasi sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Jenis kemampuan yang dimiliki siswa sangat
menentukan hasil pembelajaran selanjutnya.
b. Kemampuan
membaca, diskusi dan menulis
Dalam komunikasi matematik,
kemampuan membaca, diskusi, dan menulis dapat membantu siswa memperjelas
pemikiran dan dapat mempertajam pemahaman.
c. Pemahaman
matematik
Pemahaman
matematik merupakan kemamapuan siswa untuk menjelaskan suatu situasi dan suatu
tindakan matematik.
Pada penelitian
ini, peneliti membagi kemampuan komunikasi matematik menjadi tiga berdasarkan
klasifikasi yang dikemukakan oleh Gusni dalam Algoritma dan Jurnal matematika,
yaitu:[25]
a. Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi
atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik dan aljabar, menjelaskan
dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan,
mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun
argumen dan generalisasi.
b. Drawing, yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar
dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
c. Mathematical
Expression, yaitu mengekspresikan
konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau
simbol matematika.
C. Model Pembelajaran Terbalik (Reciprocal Teaching)
1. Karakteristik Pembelajaran Terbalik (Reciprocal
Teaching)
Pembelajaran
atau pengajaran menurut Tardif (Syah, 2004) adalah “sebuah proses kependidikan
yang sebelumnya direncanakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan serta
dirancang untuk mempermudah belajar”.[26] Sedangkan pengajaran menurut Majid
(2007) diartikan sebagai “suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam
membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman
belajar”.[27] Dengan kata lain bahwa pengajaran
merupakan suatu cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi para
peserta didik.
Menurut
Degeng (Hamzah, 2006) pengajaran adalah upaya membelajarkan siswa.[28] Pengertian ini secara implisit memberikan
penjelasan bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan dan
mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Pemilihan, penetapan dan pengembangan metode ini didasarkan pada kondisi
pembelajaran yang ada. Kegaitan ini pada dasarnya merupakan inti dari
perencanaan pembelajaran.
Menurut
Claire Weinstein & Ricard Meyer (Nur, 2000) “pengajaran yang baik adalah
pengajaran yang meliputi mengajar siswa tentang bagaimana belajar, bagaimana
mengingat, begaimana berfikir, bagaimana memotivasi diri sendiri”.[29] Ini berarti yang menjadi pusat
perhatian adalah siswa, siswa dimotivasi untuk aktif dan belajar mandiri dalam
memahami suatu konsep. Dalam hal ini peranan guru adalah sebagai fasilitator
dan motivator yang mengarahkan siswa untuk membangun pengetahuan matematika
secara mandiri.
Ada banyak
model pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk aktif belajar mandiri
dan mengembangkan kemampuan komunikasi matematiknya, salah satunya adalah model
pembelajaran terbalik (Reciprocal Teaching). Menurut Palincsar dan Brown
seperti yang dikutip oleh Slavin (dalam Ibrahim, 2007) bahwa strategi
pembelajaran terbalik adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada
prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarakan keterampilan kognitif melalui
pengajaran dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada
siswa berkemampuan rendah.[30]
Menurut
Ibrahim (2007) pembelajaran terbalik adalah strategi belajar melalui kegiatan
mengajarkan teman. Pada strategi ini siswa berperan sebagai guru menggantikan
peran guru untuk mengajarkan teman-temannya. Sementara itu guru lebih berperan
sebagai model yang menjadi contoh, fasilitator yang memberi kemudahan dan
pembimbing yang melakukan scaffolding. Scaffolding adalah bimbingan yang
diberikan oleh orang yang lebih tahu kepada orang yang kurang atau belum tahu.[31] Sedangkan menurut Nur dan
Wikandari (dalam Trianto, 2007),
pembelajaran terbalik adalah pendekatan konstruktivis yang berdasar pada
prinsip-prinsip pembuatan/pengajuan pertanyaan.[32]
Pembelajaran
terbalik (reciprocal teaching) merupakan prosedur pengajaran yang
digunakan brown dan Palinscar untuk mengembangkan pemantauan kognitif; pelajar
diminta secara bergantian memimpin kelompok belajar dalam menggunakan strategi
untuk memahami dan mengingat suatu bacaan. Cara pengajaran ini menuntut
sekelompok kecil pelajar, sering kali dengan pimpinan orang dewasa, secara
aktif mendiskusikan bacaan pendek dengan tujuan membuat ringkasan, mengajukan
pertanyaan untuk meningkatkan pemahaman, mengeluarkan pertanyaan untuk memperjelas
gagasan atau kata-kata yang sulit atau membingungkan, dan memperkirakan hal
yang akan terajdi selanjutnya.[33]
Ann Brown
(1982) dan Anne Marie Palinscar (1984) mengemukakan bahwa dengan pengajaran
terbalik guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting
dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan prilaku tertentu dan
kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka
sendiri dengan pemberian semangat, dukungan dan suatu sistem scaffolding.[34]
Karakteristik
dari pembelajaran terbalik menurut Palinscar dan Brown (2008) adalah:[35]
Reciprocal
teaching refers to an instructional activity that takes place in the form of a
dialogue between teachers and students regarding segments of text. The dialogue
is structured by the use of four strategies: summarizing, question generating,
clarifying, and predicting. The teacher and students take turns assuming the
role of teacher in leading this dialogue.
Bila diterjemahkan berarti bahwa karakteristik dari pembelajaran terbalik
adalah (1) Dialog antar siswa dan guru, dimana masing-masing mendapat giliran
untuk memimpin diskusi, (2) “Reciprocal” artinya suatu interaksi dimana
seseorang bertindak untuk merespon yang lain, (3) Dialog yang terstruktur
dengan menggunakan empat strategi, yaitu: merangkum, membuat pertanyaan dan
jawaban, mengklarifikasi (menjelaskan kembali), dan memprediksi.
Masing-masing strategi tersebut dapat membantu siswa membangun pemahaman
terhadap apa yang sedang dipelajarinya.
Pembelajaran terbalik mengutamakan peran aktif siswa
dalam pembelajaran untuk membangun pemahamannya dan mengembangkan kemampuan
komunikasi matematiknya secara mandiri. Prinsip tersebut sejalan dengan prinsip
dasar konstruktivisme yang beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan
konstruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Pengetahuan itu
bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang
diciptakan orang yang sedang mempelajarainya.[36]
Dengan
demikian, proses pembelajaran merupakan suatu proses aktif siswa yang sedang
belajar untuk membangun pengetahuannya sendiri, sedangkan guru berperan
menyediakan suasana/kondisi belajar yang mendukung proses konstruksi
pengetahuan pada diri siswa. Konstruktivis Cobb (Palinscar & Brown, 2008) mengemukakan
bahwa konstruktivisme berfokus pada proses dimana siswa secara individu/mandiri
aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.[37]
Melalui pengajaran
terbalik siswa diajarkan empat strategi pamahaman pengaturan diri spesifik
yaitu perangkuman, pengajuan pertanyaan, pengklarifikasian (menjelaskan
kembali) dan prediksi.[38] Adapun tujuan dari setiap strategi-strategi yang dipilih adalah sebagai
berikut:[39]
a. Membuat rangkuman
Strategi merangkum ini
bertujuan untuk menentukan intisari dari teks bacaan, memberikan kesempatan
untuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan informasi yang paling penting dalam
teks.
b. Membuat pertanyaan dan jawaban
Strategi bertanya ini
digunakan untuk memonitor dan mengevalusi sejauhmana pemahaman pembaca terhadap
bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada
dirinya sendiri atau dalam bentuk self-test untuk memastikan bahwa
mereka dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dengan baik,
teknik ini seperti sebuah proses metakognitif.
c. Memprediksi
Pada tahap ini pembaca diajak
untuk melibatkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dahulu untuk digabungkan
dengan informasi yang diperoleh dari teks yang dibaca untuk kemudian digunakan
dalam mengimajinasikan kemungkinan yang akan terjadi berdasar atas gabungan
informasi yang sudah dimilikinya. Setidaknya siswa diharapkan dapat membuat
dugaan tentang topik dari paragrap selanjutnya.
d. Menjelaskan kembali
Strategi
menjelaskan kembali merupakan
kegiatan yang penting terutama ketika belajar dengan siswa yang memiliki
sejarah kesulitan yang berbeda. Strategi ini memberikan penekanan kepada siswa
untuk menjadi guru dihadapan teman-temannya (siswa guru).
Singkatnya,
setiap strategi yang dipilih adalah sebagai sarana untuk membantu siswa dalam membangun
makna dari teks juga sebagai alat pemantauan mereka membaca untuk memastikan
bahwa mereka sebenarnya memahami apa yang dibaca. Masing-masing dari strategi
pembelajaran terbalik ini akan membantu siswa membantu membangun pengertian
terhadap materi yang sedang mereka pelajari secara mandiri.
Selanjutnya
menurut Mohamad Nur (2000) untuk mempelajari strategi-strategi ini, guru dan
siswa membaca bacaan yang ditugaskan dalam kelompok-kelompok kecil, dan guru
memodelkan empat keterampilan tersebut-merangkum bacaan tersebut, mengajukan
satu atau dua pertanyaan, mengklarifikasi poin-poin yang sulit dan berat, dan
meramalkan apa yang akan ditulis pada bagian tulisan berikutnya. Pada saat
pelajaran berjalan, situasinya terbalik, yaitu siswa mengambil giliran melaksanakan
peran guru dan bertindak sebagai pemimpin diskusi untuk kelompok tersebut.
Sementara salah seorang siswa berperan sebagai guru, guru memberikan dukungan,
umpan balik, dan semangat ketika siswa-siswa belajar strategi-strategi tersebut
dan membantu mereka saling mengajar satu sama lain.[40]
Salah satu
cara yang dapat ditempuh guru untuk mengoptimalkan model pembelajaran terbalik
khususnya pada kelas besar dengan mengelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok
kecil. Suasana belajar dalam kelompok dapat membantu siswa untuk saling
memberikan umpan balik diantara anggota kelompok. Selain itu, belajar
berkelompok merupakan aspek penting dalam proses mengkonstruksi pengetahuan
karena dapat membuka peluang untuk terjadinya tukar pendapat, mempertahankan
argumentasi, negosiasi antar siswa atau kelompok, sehingga memancing siswa berpartisipasi
aktif dalam pembelajaran. Seperti menurut Wingkel (1999) bahwa keuntungan dari
bekerja atau belajar dalam kelompok adalah:[41]
- Mengolah materi pelajaran secara lebih mendalam dan menerapkan hasil belajar, yang telah diperoleh dengan bekerja atau belajar secara individual pada problem atau soal yang baru.
- Memenuhi kebutuhan siswa untuk merasa senang dalam belajar dan termotivasi dalam belajar.
- Memperoleh kemampuan untuk bekerjasama (social skills).
Oleh karena
itu, dalam model pembelajaran terbalik siswa melakukan empat strategi penting
yaitu merangkum, membuat pertanyaan dan jawaban, memprediksikan dan menjelaskan
kembali. Peran guru dalam pembelajaran ini lebih sebagai motivator, fasilitator
dan moderator bagi siswa. Untuk mengoptimalkan peran tersebut guru dapat
menerapkan pendekatan scaffolding dalam pembelajaran. Scaffolding berarti
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa pada awal belajar dan mengurangi
bantuan tersebut serta membiarkan siswa untuk mengambil alih tanggung jawab
sendiri pada saat mereka dianggap mampu.
2.
Tahapan Kegiatan Pembelajaran Terbalik (Reciprocal
Teaching)
Pada awal penerapan Pengajaran Terbalik guru
memberitahukan akan memperkenalkan suatu pendekatan/strategi belajar,
menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedurnya. Menurut Nur dan Wikandari (dalam
Trianto, 2007) dalam mengawali pemodelan dilakukan dengan cara membaca satu
paragraf suatu bacaan. Kemudian menjelaskan dan mengajarkan bahwa pada saat
atau selesai membaca terdapat kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan yaitu:[42]
a.
Memikirkan
pertanyaan-pertanyaan penting yang dapat diajukan dari apa yang telah dibaca dan
memastikan bisa menjawabnya.
b. Membuat ikhtisar/rangkuman tentang
informasi terpenting dari wacana.
c. Memprediksi/meramalkan
apa yang mungkin akan dibahas selanjutnya; dan
d. Mencatat apabila ada hal-hal yang kurang
jelas atau tidak masuk akal dari suatu bagian, selanjutnya memeriksa apakah
kita bisa berhasil membuat hal-hal itu masuk akal.
Setelah siswa memahami
keterampilan-keterampilan diatas, guru akan menunjuk seorang siswa untuk
menggantikan perannya dalam kelompok tersebut. Mula-mula ditunjuk siswa yang
memiliki kemampuan memimpin diskusi, selanjutnya secara bergilir setiap siswa
merasakan/melakukan peran sebagai guru.
Langkah-langkah
pembelajaran terbalik menurut Palinscar (1986) adalah sebagai berikut:[43]
a. Pada tahapan awal pembelajaran, guru
bertanggung jawab untuk memimpin tanya jawab dan melaksanakan keempat strategi
pembelajaran terbalik yaitu merangkum, menyusun pertanyaan, menjelaskan
kembali, dan memprediksi.
b. Guru memperagakan bagaimana cara merangkum,
menyusun pertanyaan, menjelaskan kembali, dan memprediksi setelah selesai
membaca.
c. Selama membimbing siswa melakukan latihan
menggunakan strategi pembelajaran terbalik, guru membantu siswa dalam
menyelesaikan apa yang diminta dari tugas yang diberikan berdasarkan tingkat
kepandaian siswa.
d. Selanjutnya, siswa belajar untuk memimpin
tanya jawab dengan atau tanpa adanya guru.
e. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan
memberikan penilaian berkenaan dengan penampilan siswa dan mendorong siswa
untuk berpartisipasi dalam tanya jawab ke tingkat yang lebih tinggi.
Adapun
tahapan-tahapan pembelajaran terbalik (reciprocal teaching) dalam
penelitian ini adalah:
1)
Tahap Pertama
Guru mempersiapkan bahan ajar (LKS) yang akan
dipergunakan pada pertemuan pertama dan berikutnya. LKS tersebut memuat
tugas-tugas menyimpulkan (merangkum), menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya,
dan memprediksi suatu permasalahan. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam
kelaompok-kelompok kecil sekitar 6-7 orang siswa.
2)
Tahap Kedua
a.
Guru membagikan LKS yang akan dipergunakan pada
pertemuan tersebut, kemudian siswa membaca bahan ajar lain (buku paket) yang
mereka miliki sebagai penunjang untuk mengerjakan LKS.
b.
Selesai membaca, siswa ditugaskan mengerjakan LKS
dengan cara berdiskusi dengan teman sekelompoknya.
c.
Guru memperagakan peran sebagai siswa guru dengan
menjelaskan hasil kesimpulan, menyampaikan pertanyaan untuk dibahas bersama,
dan menyampaikan hasil prediksi dari masalah atau materi yang sedang dibahas.
d.
Pertemuan selanjutnya yang menjadi siswa guru adalah
salah seorang siswa dalam kelas tersebut yang dipilih secara acak, sehingga
seluruh siswa dalam kelas tersebut harus siap.
3)
Tahap Ketiga
Sebagaimana pertemuan sebelumnya, guru membagikan LKS
dan siswa mengerjakan secara diskusi kelompok. Dipilih seorang siswa untuk
menjadi siswa guru yang berperan aktif bersama teman-temannya membahas LKS.
Dalam hal ini guru sebagai pengarah jika proses pembelajaran terhambat
jalannya.
D. Hasil-Hasil Penelitian Yang Relevan
Untuk mendukung penelitian ini, berikut ini disajikan
beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Penelitian tersebut antara lain :
- Penelitian yang dilakukan oleh Hendriana dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika Dengan Pembelajaran Terbalik (Reciprocal Teaching)”. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun pelajaran 2002/2003. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran terbalik lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa dan siswa bersikap positif terhadap pembelajaran yang dilakukan.
- Penelitian yang dilakukan oleh Astuti yang berjudul “Penerapan Strategi Belajar Kooperatif Tipe STAD Pada Pembelajaran Matematika Kelas II di MAN Magelang.” Penelitian tersebut dilakukan pada tahun pelajaran 2004/2005. Hasil penelitiannmya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kemampuan komunikasi matematik dengan hasil belajar siswa, dimana kontribusi kemampuan komunikasi matematik siswa terhadap hasil belajar siswa sebesar 76%.
E. Pengajuan Konseptual Perencanaan
Tindakan
Dalam proses pembelajaran, ketika siswa belajar untuk
menemukan, memahami, dan mengembangkan konsep yang sedang dipelajarinya melalui
kegiatan membaca, menulis, presentasi dan berdiskusi, sesungguhnya siswa sedang
menggunakan kemampuan komunikasi matematiknya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya model pembelajaran
terbalik (reciprocal teaching) menekankan siswa untuk menerapkan empat
strategi yaitu (1) Merangkum atau menyimpulkan, (2) Menyusun pertanyaan dan
jawaban, (3) Menjelaskan kembali pengetahuan yang diperolehnya, dan (4) Memprediksi.
Dengan menerapkan pembelajaran terbalik dalam pembelajaran matematika, siswa
tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada guru dalam membangun pengetahuannya dan
pengertian terhadap materi yang sedang dipelajarinya.
Pembelajaran terbalik juga memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada siswa untuk menggunakan kemampuan komunikasi matematiknya
secara mandiri, karena siswa dibiasakan untuk mampu membuat kesimpulan dari
suatu konsep dan menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperolehnya kepada
teman-temannya. Kemampuan komunikasi matematik siswa juga akan tampak ketika
siswa berusaha menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk diajukan kepada siswa yang
lainnya dan membahasnya bersama, serta membuat prediksi
permasalahan-permasalahan baru dari konsep yang telah dipelajarinya. Semakin
pandai siswa menggunakan strategi tersebut, kemampuan komunikasi matematik
siswa pun dapat ditingkatkan.
F. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir yang
telah dipaparkan di atas maka diduga penerapan model pembelajaran terbalik (Reciprocal
Teaching) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.
[1] P.Faturrahman dan M.S Sutikno, Strategi
Belajar Mengajar, (Bandung: Rafika Aditama,2007),h.5
[2] Muhibbin Syah, Psiklogi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung:
Remaja Rosdakrya, 2004), h.90
[4] Sardiman, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.22
[11] Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.252
[12] Ismail, Kapita Selekta…h. 1.13
[14] Igak Wardani, Dasar-Dasar Komunikasi
dan Keterampilan Dasar Mengajar, (Jakarta: PAU-PPAI Universitas Terbuka,
2001), h.4-5
[16] Bambang Aryan, Komunikasi Dalam Matematika, Tersedia [Online]:http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/Komunikasi
Dalam Matematika/-37k- [08 Februari 2009, 10:46 WIB].
[20] NCTM, Curriculum
and Evaluation Standard for School Mathematics, (United States of
America:The National Council of Teacher of Mathematics Inc.2000 ),
h. 271
[21] Tengku,
Zawawi, Isu-Isu Dalam Pendidikan Matematika, (Malaysia:Utusan
Publications 2005).Tersedia [online]:http://books.google.co.id/books?id=sUx8mYRun4sC&dq=editions:ISBN9676117838&hl=en.
h.48,[07 April 2009, 11:00
WIB].
[30] Muslimin. Ibrahim, Reciprocal Teaching Sebagai Strategi, Tersedia
[Online]:: http:kpicenter.org,indeks.php%option.com_content&task_view&id_36&itemid,
[09 Maret 2009, 10:30 WIB].
[32] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,
(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h.96.
[33] John W. Santroek, Adolescence
Perkembangan Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 140.