Selasa, 08 November 2011

JIKA MATH ANXIETY MAKA UN ANXIETY

Banyak orang dimasyarakat teknologi tinggi saat ini mengalami perasaan intimidasi dan ketakutan saat berhadapan dengan matematika, “mereka” menganggap matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk diajarkan ataupun dipelajari. Salah satu alas an kenapa demikian adalah karena matematika merupakan pelajaran yang sangat hierarkis. Hal ini bukan berarti bahwa terdapat suatu tata urut yang mutlak diperlukan untuk mempelajari matematika tersebut, tetapi kemampuan untuk mempelajari materi baru seringkali memerlukan pemahaman yang memadai tentang satu atau lebih materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Seringkali terungkapkan bahwa setiap orang memiliki suatu langit-langit matematika adalah memang benar, karena para anak dan para orang dewasa dalam mempelajari matematika memiliki kecepatan yang sangat berbeda-beda. Sebuah konsep yang bisa dikuasai dalam satu kali pertemuan saja oleh seseorang, bisa memerlukan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu bagi yang lainnya, dan mungkin terjadi tidak bisa terpecahkan oleh mereka yang kurang pemahamannya tentang konsep-konsep yang diperlukan untuk memahami konsep tadi. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang sangat besar dalam pencapain belajar matematika diantara anak yang sama usianya.
Dari kenyataan ini maka a). jika laju pelajaran terlalu cepat maka pemahaman tidak akan terbentuk, b). jika laju pelajaran terlalu lambat maka para siswa akan menjadi bosan. Banyaknya materi yang tepat diberikan pada suatu rentang waktu yang sama juga sangat beragam dan sangat tergantung kepada pencapaian daripada siswa. Mereka yang pencapaiannya tinggi seringkali berjalan sekian jauh dalam suatu rentang waktu, tetapi bagi mereka yang pencapaiannya rendah perlu berjalan dalam tahapan-tahapan yang lebih kecil serta perlu mengulang kembali materi atau bahan yang telah diberika sebelumnya.
Selanjutnya matematika sering dipandang oleh sejumlah orang sebagai lahan studi yang sangat objektif serta dibersihkan dari perasaan-perasaan . selain itu sejumlah orang berkeyakinan bahwa salah satu tujuan mempelajari matematika adalah untuk mambantu mengembangkan cara berfikir yang teratur dan analitis. Jika matematika benar-benar sedemikian jauh dilepaskan dari alam perasaan, kenapa kemudian ternyata diperbahaskan sikap-sikap atau perasaan terhadap matematika salah satunya adalah math anxiety (gelisah matematika).
Math anxiety ternyata diderita oleh juataan orang. Menurut Dr. Sheila Tobias, gelisah matematika adalah kegagalan untuk berani saat berhadapan dengan keharusan untuk melakukan perhitungan atau suatu analisis yang melibatkan bilangan, geometri atu konsep-konsep matematika. Math anxiety merupakan suatu respon dari waktu ke waktu terhadap stress di ruang kelas matematika dimana tes-tes seringkali diberikan dibawah tekanan waktu dan lain sebagainnya.
Math anxiety mempengaruhi baik laki-laki ataupun perempuan, tetapi pengaruhnya terhadap perempuan lebih tinggi, kaum perempuan seringkali mengalami stress yang lebih tinggi saat melakukan sesuatu yang dalam budaya kita dipandang berada dalam “domain” laki-laki. Bagaimanapun sejarah membuktikan banyak perempuan yang berhasil dalam matematika serta bidang-bidang lain yang berlandaskan matematika.
Pentinglah para guru mengamati sifat atau gejala dan indicator dari gelisah matematika dalam diri para siswa, misalnya para siswa mungkin mengalami ketidakmampuan atau kegelisahan untuk menyelesaikan soal-soal verbal, lebih lanjut siswa-siswa mungkin tidak bisa berbuat apa-apa pada suatu tes misalnya Ujian Nasional. Pandangan bahwa jawaban yang salah merupakan jawaban yang “buruk” dan jawaban yang benar adalah jawaban yang “baik” harus berubah. Penekanan mesti ditempatkan pada proses daripada hasil. Dengan dorongan dari guru, lingkungan yang membina dan izin untuk melaju dalam kecepatan diri sendiri, para siswa yang mengalami gelisah matematika bisa dibantu agar pada akhirnya menghilangkan gelisah matematika dalam mengerjkan soal-soal matematika misalnya Ujian Nasioanl untuk lebih jauh dalam kehidupan mereka.
Berbicara tentang Ujian Nasional, pelaksanaan ujian nasional ini tinggal sebentar lagi. Semua elemen yang terkait begitu sibukmempersiapkannya. Hal ini akibat dari perubahan dan perkembangan serta dinamisasi pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Implementasinya adalah bahwa UN yang akan dilaksanakan pada tahun ini sedikit berbeda dengan format pada tahun yang lalu misalnya pemerintah akan menggunakan lima tipe soal, cara tersebut memang tidak akan menjamin ujian bakal bebas dari kebocoran tapi setidaknya bisa menekan kemungkinan untuk mencontek. Menurut mentri pendidikan uhammad Nuh, cara ini digunakan dengan asumsi satu ruang ujian berisi 30 siswa, sehingga bisa mempersulit peserta yang ingin mencontek jawaban rekannya. Selain penggunaan lima tipe soal, pemerintah juga bakal memperketat alur soal ujian nasional dari percetakan hingga distribusi ke tempat ujian.
Beberapa format baru UN ini jelas membuat para elemen-elemen terkait merasa gelisah, pasalnya UN itu berhubungan erat dengan masalah “harga diri dan kehormatan”, siap yang mau harga diri dan kehormatannya jatuh gara-gara UN. Kegelisahan itu tentu tertuju pada pelajaran-pelajaran yang diUjian Nasionalkan yang salah satunya adalah Matematika.
Maka jika siswa mengalami gejala-gejala “Math Anxiety (gelisah matematika)” maka siswa juga akan mengalami “UN Anxiety (gelisah dalam menghadapi UN)”. Oleh karena itu ini adalah tugas bersama bagaimana pelaksanaan pendidikan di Negara kita itu bisa di rencanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar bersih dari kecurangan-kecurangan yang mungkin bagi sejumlah orang melaksanakan kecurangan itu karena terpaksa dimana situasi yang membuatnya harus berbuat curang, ya.. itu tadi berkaitan dengan “harga diri dan kehormatan”. Semoga Math Anxiety yang berujung pada UN Anxiety bisa sedikit demi sedikit bisa di hilangkan pada diri siswa sehingga siswa tidak lagi merasa ketakutan dikala menghadapi soal-soal matematika dan menghadapi Ujian Nasioanl yang akhirnya menjadi “Math Love” yang berujung pada “UN Love”.

PANDANGAN DAN PENGUASAAN GURU MATEMATIKA TERHADAP MATEMATIKA

Kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan guru di dalam kelas merupakan suatu keputusan yang ditetapkan oleh guru tersebut. Menurut Carpenter, Fennema, & Peterson , keputusan yang diambil oleh guru dalam menetapkan pembelajaran di dalam kelas, bergantung atas: (1) pengetahuan, (2) keyakinan, dan (3) assesmen terhadap pengetahuan siswa melalui observasi atas tingkah-laku siswa.
Pengetahuan guru matematika meliputi pengetahuan tentang matematika, pedagogi dan pengetahuan tentang kognisi siswa dalam matematika. Ketiga komponen pengetahuan tersebut berinteraksi menghasilkan suatu pengetahuan yang khusus sesuai konteks atau situasi di dalam kelas. Sedangkan keyakinan guru matematika, menurut Ernest meliputi empat unsur, yaitu: (a) konsepsi (pandangan) guru tentang matematika, (b) model pengajaran matematika, (c) model belajar matematika, dan (d) prinsip-prinsip umum pendidikan.
Ernest menyatakan bahwa pandangan seorang guru terhadap matematika adalah keyakinan secara sadar yang tertanam dalam lubuk hati mengenai konsep-konsep, makna, aturan-aturan, gambaran mental dan preferensi dalam disiplin ilmu matematika. Pandangan guru terhadap matematika dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Pandangan Problem Solving, (2) Pandangan Platonis, dan (3) Pandangan Instrumentalis.
Pandangan problem solving memandang matematika sebagai sesuatu yang dinamik, yaitu ruang penciptaan dan penemuan manusia yang berkembang secara terus menerus di mana pola-pola dimunculkan dan kemudian disaring menjadi pengetahuan. Jadi matematika merupakan suatu proses pencarian dan sampai pada mengetahui sehingga terjadi penambahan pengetahuan.
Pandangan Platonis memandang matematika sebagai sesuatu yang statik tetapi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang terpadu, bidang tentang struktur dan kebenaran yang saling terkait dengan kuat, satu sama lain terikat oleh logika dan makna. Jadi matematika sesuatu yang monolit, produk yang bersifat statik dan kekal. Matematika adalah ditemukan, bukan diciptakan.
Pandangan instrumentalis memandang matematika seperti sejumlah peralatan yang terbuat dari himpunan-himpunan fakta, aturan, dan keterampilan; untuk digunakan dengan cekatan oleh pekerja tangan yang terlatih dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Jadi matematika adalah suatu himpunan dari aturan dan fakta yang tidak saling terkait tetapi bermanfaat.
Menurut Dossey (1992) perbedaan pandangan para matematikawan tentang matematika mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan kurikulum matematika, pembelajaran, dan penelitian. Dan menurut Thompson (1992) perbedaan pandangan guru terhadap matematika mengakibatkan berbedanya praktek pembelajaran matematika didalam kelas. Ciri seorang guru yang memandang matematika hanya sebagai himpunan alat (berpandangan instrumentalis) akan lebih menekankan kepada mendemonstrasikan aturan dan prosedur dalam proses pembelajaran.
Sedangkan seorang guru yang memandang matematika sebagai suatu subyek yang koheren yang memuat topik-topik yang saling berhubungan secara logis (berpandangan platonis), maka pembelajaran yang dilakukannya akan menekankan kepada makna matematis tentang konsep-konsep dan logika prosedur matematika. Sedangkan guru yang menganut pandangan problem solving, maka dalam pembelajaran di dalam kelas akan menekankan aktivitas siswa dengan tujuan melibatkan siswa dalam proses penurunan matematika.
Memahami adanya perbedaan konsepsi (pandangan) terhadap matematika adalah suatu yang sangat penting dalam mengembangkan keberhasilan pelaksanaan program-program matematika sekolah dimana guru matematika melaksanakan proses pembelajaran di kelas dengan dilandasi pandangannya terhadap matematika yang sesuai dengan hakikatnya.
Untuk mengetahui kecenderungan pandangan guru terhadap matematika dapat ditinjau dari berbagai aspek yang dilakukan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di dalam kelas. Adapun aspek-aspek utama adalah sebagai berikut: (1) menyajikan konsep, (2) menyajikan aturan, (3) menyajikan prosedur, (4) jenis pertanyaan yang diajukan, (5) menguji kebenaran jawaban, (6) membantu kesulitan siswa dan (7) penggunaan buku paket.
Penguasaan Guru dalam Matematika Menurut Brown dan Baird (1990), kebanyakan penelitian mengenai penguasaan guru tentang matematika secara sederhana dengan melihat nilai mata kuliah matematika atau skor tes standar. Hal ini merupakan bagian kecil untuk melihat kedalaman pemahaman guru dalam matematika. Matematika yang diajarkan di sekolah cukup kompleks. Selain gagasan, fakta-fakta dan konsep-konsep tentang matematika serta hubungan satu sama lain harus diajarkan; juga guru harus memperhatikan proses mengerjakan (doing) dan menciptakan matematika. Jelaslah, agar guru dapat mengajar matematika, harus menguasai matematika dengan baik. Shulman dan kawan-kawan menemukan bahwa penguasaan guru dalam matematika mempengaruhi cara mereka mengajarkannya. Penelitian Steinberg dan kawan-kawan menyatakan bahwa penguasasan guru dalam matematika yang lebih luas, cara mengajarnya lebih konseptual. Sedangkan guru dengan tingkat penguasaannya lebih sempit mengajarnya lebih cenderung menekankan aturan.
Penguasaan guru terhadap matematika ditekankan kepada kemampuan; (1) pemecahan masalah, (2) komunikasi, (3) penalaran, dan (4) koneksi matematika. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan; (a) memahami soal, (b) memilih pendekatan atau strategi pemecahan, (c) menuliskan model matematika, (d) menyelesaikan model, (e) menafsirkan solusi terhadap masalah semula. Kemampuan komunikasi adalah kemampuan menyajikan pernyataan matematika secara tertulis, lisan atau diagram. Sedangkan kemampuan penalaran adalah menggunakan cara induktif dalam mengenal atau memprediksi pola serta menurunkan dan membuktikan rumus atau teorema. Kemampuan koneksi adalah kemampuan memahami koneksi di antara konsep-konsep dan berbagai prosedur, koneksi di antara topik-topik matematika, maupun matematika dengan bidang lain.
Ketika pengusaan guru matematika terhadap matematika yang tidak memadai dan kecenderungan pandangannya yang instrumentalis, secara bersamaan perlu menjadi pertimbangan LPTK yang menghasilkan guru matematika dalam merumuskan tujuan-tujuan, materi dan strategi perkuliahan, serta cara melakukan asesmen. Hakikat atau pandangan tentang matematika yang sejalan dengan tujuan pendidikan matematika sekolah, harus nampak dalam proses perkuliahan maupun proses asesmennya.
Oleh karena itu dalam upaya peningkatan pendidikan khususnya pada mata pelajaran matematika saya kira perlu adanya sebuah penelitian di kabupaten ciamis untuk memperoleh gambaran secara umum pandangan dan penguasaan guru matematika terhadap matematika baik itu di tingkat SD, SMP ataupun SMA. Sehingga kita dapat terus meningkatkan kualitas pendidikan khususnya matematika di kabupaten ciamis.

Upaya Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah

Upaya Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah 

Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan. Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.
Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:
1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.
3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma
Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.
Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.
Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.
Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:
1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.
3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.
8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.
10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.
Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.
Berdasarkan Meriam Webster Dictionary yang dikutip dari penelitian yang berjudul Overcoming math anxiety, kecemasan (anxiety) adalah rasa takut yang sangat besar terhadap sesuatu yang mengancam dan diikuti dengan respon fisiologis (seperti berkeringat, tekanan) dan rasa ragu pada diri sendiri bahwa mampu menghadapi hal yang menakutkan tersebut.
Dalam penelitian yang berjudul Overcoming math anxiety, Rossnan menyebutkan bahwa mathematic anxiety (kecemasan pada matematika) merupakan bentuk respon emosional saat pelajaran matematika, mendengarkan guru, saat memecahkan permasalahan matematika, mendiskusikan matematika. Bentuk respon emosional tersebut salah satunya adalah kecemasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Godbey dengan judul mathematic anxiety and the underprepared student menyebutkan terdapat beberapa gejala math anxiety. Gejala-gejalanya meliputi rasa mual, badan terasa panas, ketegangan yang berlebihan, ketidakmampuan mendengarkan guru, mudah terganggu oleh suara-suara, ketidakmampuan konsentrasi, negatif self-talk, sakit perut, pikiran tiba-tiba kosong, berkeringat. Kecemasan dalam matematika juga dapat disebabkan oleh pengalaman buruk masa lalu yang berkaitan dengan pelajaran matematika. Misalnya siswa memiliki pengalaman masa lalu bahwa dirinya selalu dihukum berdiri di depan kelas, karena tidak bisa mengerjakan soal matematika.
Dalam penelitian yang dilakukan Godbey dan Rossnan menyarankan bahwa para guru matematika sebaiknya mampu meningkatkan rasa percaya diri anak. Khususnya dalam hal ini rasa percaya diri akan kemampuan matematika mereka. Para guru sebaiknya ikut mensukseskan melakukan sesuatu untuk membuat matematika mudah dimengerti dengan menggunakan prosedur dan berbagai macam materi di kelas.
Godbey menambahkan bahwa para guru matematika tidak hanya belajar mengenai matematika tetapi mereka mengajar dengan metode yang menarik untuk disampaikan dan pengaplikasian konsep-konsep matematika yang akan mengurangi kecemasan dan memberikan alasan yang tepat pada para siswa untuk mempelajari matematika. Mengenalkan humor di kelas dapat membawa keuntungan siswa dalam mempelajari matematika. Kegunaan humor dalam mengajar membawa keuntungan para murid dengan mengurangi kecemasan dan memfasilitasi pembelajaran.